Tingginya Sikap Ta’dzim KH. Hasyim Asy’ari Pada Gurunya KH. Khozin Khoiruddin, Panji, Sidoarjo
Saat mondok di Alhamdaniyah, disamping diasuh oleh KH. Ya’kup, Kiai Hasyim juga diajari juga oleh KH. Khozin Khoiruddin. KH. Khoiruddin ini adalah, juga menantu KH. Ya’kub. Karena itu, Kiai Hasyim tetap memandang KH. Khozin adalah guru sampai kapanpun dan dalam situasi apapun.
Dalam catatan Silsilah Pondok Pesantren Alhamdaniyah, KH. Khozin Khoiruddin masuk generasi ketiga, pemeras pengasuh pesantren Alhamdaniyah.
Setelah generasi pendiri, KH. Hamdani. generais kedua adalah KH. Ya’kub dan KH. Abdurrahim. Keduanya adalah putra KH. Hamdani. Baru setelah itu adalah generasi ketiga, yaitu KH. Khozin Khoiruddin (menantu KH. Ya’kub) dan KH. Hasyim Abdur Rohim.
Menurut penuturan Gus Rohim (almarhum) generasi pengasuh Pondok Panji, disamping sowan ke Mbah Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim juga sowan ke KH. Khozin gurunya Kiai Hasyim di Pondok Panji untuk meminta restu sebelum didirikannya NU.
Bukan hanya itu, saking tawadlu’nya Kiai Hasyim terhadap gurunya itu, sebelum mendirikan rumah, Kiai Hasyim mengutus santrinya ke Panji, Sidoarjo untuk mengukur tinggi bangunan rumah KH. Khozin, supaya dalam membangun rumah Kiai Hasyim nanti, tidak lebih tinggi dari rumah KH. Khozin, gurunya. Subhanallah.
Cerita ketawadlu’an Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya sampai disitu. Sebagai ulama besar dan pendiri NU, Kiai Hasyim, setiap bulan ramadhan mengadakan pengajian khusus yang diikuti oleh kiai-kiai besar dari berbagai pesantren, khususnya dari Jawa (seperti diceritakan dari buku Almaghfurlah KH. M. Biarin Syamsuri)
Pada pertengahan bulan Sya’ban (1933 M), kiai-kiai senior sudah berdatangan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Salah satu Kiai senior yang hadir mengikuti pengajian itu adalah KH. Khozin Khoiriddin, guru Kiai Hasyim Asy’ari waktu mondok di Panji, Sidoarjo.
Melihat kedatangan KH. Khozin yang mau ikut ngaji, Kiai Hasyim sangat terkejut. Kok gurunya ikut ngaji pada dirinya. Bagi Kiai Hasyim, guru tetaplah guru, Sampai kapanpun. Karena itu ia harus tetaplah dimulyakan. Maka terjadilah dialog antara Kiai Hasyim dengan KH. Khozin.
“Memang dulu kami adalah guru/Kiai tuan, tetapi sejak hari ini kami menyatakan dengan tegas bahwa kami adalah murid/santri tuan” ujar KH. Khozin.
Mendengar pernyataan seperti itu, yang tidak pernah diduga sebelumnya, Kiai Hasyim sangat terkejut. Dengan penuh khidmad dan kesopanan, Kiai Hasyim menjawab : “Sungguh tidak terduga bahwa Tuan akan mengucapkan kata-kata seperti tadi. Apakah tidak salah langkah tuan berguru kepada kami. Padahal kami adalah murid Tuan sendiri. Murid Tuan pada zaman dahulu. Dan murid Tuan juga sekarang,”.
KH. Khozin menjawab : “Benar, murid Tuan zaman dahulu, tetapi guru kami waktu sekarang”.
Dijawab Kiai Hasyim : “Tidak, sekali lagi tidak, kami adalah murid Tuan zaman dahulu. Dan murid Tuan juga sekarang. Ya, bahkan tetap menjadi murid Tuan selamanya,”.
KH. Khozin : “Ya terserahlah apa kata Tuan. Pokoknya kami akan turut belajar di sini (Tebuireng), menguras ilmu Tuan dan berguru kepada Tuan.”
Kiai Hasyim : “Kalau begitu, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami menyerahkan hal itu kepada Tuan kembali. Pokonya Tuan masih tetap menjadi guru dan Kiai kami. Demikian itu adalah karena kepercayaan yang teguh dalam hati kecil kami”.
Tinggalkan Balasan