Demo Warga Dusun Kaliwungu dan Banjaranyar, Desa Banjarasri, Tanggulangin ke Lapindo

Sidoarjo,- Hujan sudah tidak pernah ada selama hampir satu bulan lamanya, namun yang menjadi janggal adalah masih adanya banjir selama 2 minggu dan belum ada tanda-tanda akan surut. Peristiwa itu terjadi di Dusun Kaliwungu dan Dusun Banjaranyar, Desa Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi dusun juga menjadi komplek pengeboran lapindo, yaitu Blok Tanggulangin I dan II.

Pengeboran yang dilakukan PT. Lapindo Brantas itu selama ini banyak dikeluhkan warga sekitar. Mulai dari kebisingan aktifitas pengeboran serta banjir yang sering terjadi. Apalagi banjir yang melanda dua dusun itu sudah berlangsung selama 2 minggu.

Pada Senin (08/06/2020) warga dua dusun dimaksud yaitu, Dusun Kaliwungu dan Banjaranyar melakukan aksi demo ke kantor PT. Lapindo Brantas. Demo yang diikuti kurang lebih 50 orang tersebut menuntut adanya kejelasan penanganan pada banjir yang melanda wilayahnya.

Dalam orasinya dan yang tertulis pada poster-poster demo, warga menuntut untuk segera diselesaikan banjir yang melanda dusun mereka. Bahkan warga menuntut agar seluruh aktifitas pengeboran dihentikan sebelum persoalan banjir diselesaikan.

Warga meyakini banjir itu terkait langsung dengan aktifitas pengeboran yang dilakukan Lapindo. Apalagi menurut penuturan warga ada pengurugan yang dilakukan oleh Lapindo yang pada akhirnya menutup akses saluran air yang mengalir di sungai, sehingga air tidak bisa mengalir yang mengakibatkan dusun mereka banjir.

Pemerintah dan Lapindo Tidak Transparan

Fatihul Faizun
Direktur Pusaka Sidoarjo

Di tempat terpisah Fatihul Faizun, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik dan Advokasi (PUSAKA), mengatakan bahwa persoalan banjir yang terjadi di Dua Dusun di Desa Banjarasri adalah karena tidak transparannya PT. Lapindo Brantas Inc dan Pemerintah Daerah (Pemda) Sidoarjo dalam penyusunan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

“Menurut saya ini terjadi karena Lapindo dan Pemda Sidoarjo tidak transparan dalam dokumen UKL UPL. Dokumen tersebut adalah perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan. Patut diduga ada proses dan mekanisme yang dilanggar dalam penyusunan dokumen UKL UPL tersebut,” kata sosok yang lebih akrab dipanggil paijo itu.

Paijo menambahkan soal Pengeboran yang dilakukan lapindo sebenarnya pernah diminta untuk dihentikan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo pada 2016 dulu. Soekarwo saat itu mengirimkan surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral agar memerintahkan kepada lapindo untuk menghentikan sementara aktifitas pengeboran dikarenakan menimbulkan keresahan di masyarakat dan gangguan ketertiban umum.

Surat tertanggal 8 Januari 2016, dan bernomor 542/175/119/2016 itu tembusannya juga dikirimkan ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS) dan PT. Lapindo Brantas Inc.

“Menurut saya apa yang dilakukan Gubernur kala itu sudah betul. Pada akhirnya kekhawatiran itu kan terjadi. Karena itu adalah hasil masukan dari berbagai pihak. Namun permintaan Gubernur Jatim itu sepertinya tidak dihiraukan. Hal inilah yang saya maksud juga tidak tranparannya Pemerintah dan Lapindo. Yang menjadi korban akhirnya ya masyarakat lagi,” jelasnya.

Paijo kembali menambahkan apa yang terjadi di Tanggulangin patut diduga antara Pemerintah dan Lapindo telah abai khususnya dalam soal lingkungan.

“Ada yang perlu dikaji lagi khususnya soal kajian pada aspek lingkungan. Pemerintah dan Lapindo harus transparan terutama pada dokumen Kajian Environmental Baseline Assessment (EBA) atau biasa disebut Kajian Rona Lingkungan Awal dan Environmental Final Assessment (EFA) atau Kajian Lingkungan Akhir Operasi. Sebagaimana ketentuan SKK Migas dalam Pedoman Tata Kerja (PTK), Nomor: PTK-005/SKKMA0000/ 2018/S0 Tentang Pengelolaan Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Lindungan Lingkungan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi,” pungkas Paijo. (uzi).