Sidoarjo Bumi Wali, Meski Menjelma Jadi Kota Metropolis, Jangan Lupakan Sidoarjo Itu Kota Santri
Dalam beberapa keterangan tokoh masyarakat Kauman, secuil gambaran, bahwa Mbah Mul yang kini makamnya dibelakang Masjid Jamik Al Abror Kauman, Sidoarjo tersebut adalah seorang pangeran (atau anak raja) yang lari dikejar Belanda karena menderita kekalahan dalam perang. Nama Mbah Mul sebenarnya bukanlah nama asli, melainkan adalah nama samaran dalam Rangka untuk mengelabui kejaran Belanda kala itu.
Meski dinobatkan sebagai tokoh yang bersejarah di Sidoarjo, namun tidak banyak referensi yang menceritakan tentang Mbah Mul ini. Saya menduga, kalau Mbah Mul ini adalah bagian dari prajurit Pangeran Diponegoro yang lari akibat kalah perang. Jika dilihat dari peristiwanya karena dikejar Belanda, seperti yang banyak diceritakan warga masyarakat Desa Kauman, maka sangat mungkin kalau Mbah Mul adalah prajurit Pangeran Diponegoro.
Ada beberapa Kiai ternama yang datang dengan peristiwa yang sama, seperti halnya yang dialami Mbah Mul ini. Sebut saja misalnya Kiai Asyfia’, ayah dari KH. Ahmad Arruqot Kedungcangkring yang dikenal sebagai Kiai Kharismatik. Disamping Kiai Asyfia’ ada juga Kiai Bakri yang statusnya adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah perang dan lari ke Sidoarjo.
Kedatangan kedua Kiai ke Sidoarjo tersebut diperkirakan tahun 1830 M karena bersamaan dengan perang Diponegoro yang kalah oleh Belanda.
Sidoarjo, meskipun kini menjelma menjadi Kota Metropolis dan Kota Bisnis, perlu diketahui bahwa Sidoarjo dulunya dikenal sebagai Bumi Wali. Ungkapan Sidoarjo sebagai Bumi Wali ini tidaklah berlebihan. Di Sidoarjo itu dulu dikenal banyak melahirkan ulama besar dan pondok pesantren ternama yang ikut mewarnai, baik dalam percaturan lokal maupun nasional.
Sebut saja misalnya KH. Ali Mas’ud (Mbah Ud Pagerwojo, Buduran), Mbah Jaelani Tulangan, Kiai Sahlan Sidorangu, Krian, Mbah Syamsudin Daleman Sidoarjo, Mbah Barmawi Ngaresrejo, Sukodono, Mbah Gunung Cemengkalang, Sidoarjo dan banyak lagi.
Pondok Pesantren tua di Sidoarjo juga demikian. Sebut saja misalnya Pondok Panji. Siapa yang tidak kenal Pondok Panji. Pesantren legendaris ini menurut sejarahnya, banyak melahirkan ulama besar di Nusantara. Sebut saja misalnya KH. Hasyim Asy’ari. KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, KH. Umar Jember. KH. Idam kholid dan banyak lagi.
Ada juga Pondok Pesantren Sono, Sidoarjo. Pondok Sono, Sidoarjo itu pondok tua yang terkenal dengan ilmu shorofnya. Pondok Pesantren yang didirikan KH. Muhayyin ini juga alumninya banyak melahirkan ulama besar. Siapa saja Kiai yang mau mendalami ilmu shorof, dulu mondoknya di Sono.
Beberapa ulama besar yang pernah mondok di Sono adalah KH. Djazuli Usman, pendiri Ponpes Alfalah, Ploso, Kediri. KH. Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lerboyo Kediri.
Ketika Sidoarjo dipimpin Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II atau dikenal dengan sebutan Kanjeng Djimat, tahun 1863 M, terjadi peristiwa penting yang mengilhami pembangunan Masjid Agung Sidoarjo, Penjara dan Rumah Sakit.
Suatu ketika, Bupati Sidoarjo Kanjeng Djimat yang dikenal sakti, keris pusakanya terjatuh di laut saat melakukan perjalanan ke madura. Kanjeng Djimatpun membuat sayembara, barangsiapa yang bisa menemukan kerisnya, akan diberi hadiah, apapun yang dia minta.
Tersebutlah dalam cerita itu, Mbah Kiai Syamsuddin, Daleman Sidoarjo yang berhasil menemukan keris atau Djimatnua Kanjeng Djimat tersebut. Cerita Mbah Kiai Syamsuddin menemukan Keris Pusaka Kanjeng Djimat tersebut, penulis dapatkan dari dzurriah Mbah Kiai Syamsuddin yang tinggal di Daleman, Sidoarjo.
Kepada Mbah Kiai Syamsuddin, Kanjeng Djimat menyampaikan, permintaan sebagai hadiah yang harus dipenuhinya. Kiai Syamsuddin menjawab, ia minta dibangunkan sesuatu yang mengisyaratkan bahwa kelak setelah kehidupan didunia akan ada siksa neraka, surga dan siksa kubur. Mendapat permintaan Mbah Kiai Syamsuddin ini, Kanjeng Dhimat tidak mengerti apa yang dimaksud.
Karena itu, untuk memperoleh jawaban dari permintaan Mbah Kiai Syamsuddin itu Kanjeng Djimat sowan ke Kiai Pondok Panji untuk menanyakan maksud permintaan Mbah Kiai Syamsuddin itu. Kepada Kanjeng Djimat, Kiai Panji menyarankan supaya menanyakan ke Kiai yang ada di Ceribon.
Setelah dari Kiai di Ceribon itulah Kanjeng Djimat memperoleh jawaban bahwa yang dimaksud permintaan Kiai Syamsuddin itu ada minta di bangunkan penjarah di sebelah selatan, sebagai isyarat siksa neraka yang ada didunia dan Masjid berada di tengah yang mengisyaratkan jalan menuju ke surga dan Rumah Sakit sebagai gambaran siksa kubur yang berada sebelah Utara Masjid Agung (kini Gedung DPRD Sidoarjo).
Sedang ditengah-tengah bangunan itu disediakan jalan. Disebelah timur atau tengah alun-alun ditanami pohon beringin yang diberi pagar kurung dari besi. Diberingin itulah diberi jalan masing masing menuju ke tiga bangunan itu. Itulah gambaran pilihan hidup. Menuju ke naraka, ke surga atau ke siksa kubur, semua masing masing ada jalan kearah itu. Tinggal manusia memilih dengan segala konsekwensinya.
Apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari peristiwa antara Kanjeng Djimat dan Mbah Kiai Syamsuddin itu? Sidoarjo, secara sosiologis hampir dipastikan sebagai daerah penyangga Kota Surabaya adalah kota santri. Banyak ulama bahkan Aulia yang lahir di Bumi Jenggolo ini. Karena itu sepatutnya, dalam banyak hal menentukan kebijakan pembangunan daerahnya, Sidoarjo harus senantiasa mempertimbangkan sebagai Kota Santri. Karenanya, pertimbangan penting dalam pembangunan di Sidoarjo haruslah memegang teguh prinsip-prinsip keberkahan, tidak asal mbangun saja. Para pemimpin atau stake holder di Sidoarjo haruslah sering meminta nasehat pada para Kiai atau alim ulama agar dalam perjalanan membangun daerah itu penuh keberkahan. Wallahu a’lam.
Tinggalkan Balasan