Sidoarjo Bumi Wali, Meski Menjelma Jadi Kota Metropolis, Jangan Lupakan Sidoarjo Itu Kota Santri
Kolom | JATIMONLINE.NET,- Kabupaten Sidoarjo kembali memperingati hari lahirnya yang ke 164 tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk menata keadaan menjadi daerah yang lebih maju dan bermartabat. Dalam kesempatan peringatan hari jadi itu, Bupati Sidoarjo yang akrab disapa Gus Muhdlor tampak khidmad mengikuti acara sholawatan yang menghadirkan para kiai dan habaib.
Ada juga peringatan harlah Sidoarjo dengan menggelar acara Hadrah isyhari. Sebuah perayaan yang bernuansa religius. Ada juga yang hanya sekedar bikin stiker ucapan Selamat hari jadi Sidoarjo yang ke 164 tahun.
Kalau dirunut dari sejarahnya, sebenarnya tanggal 31 Januari 1859 itu adalah sebuah peristiwa dipisahkannya Kabupaten Sidokare (ketika itu belum nama Sidoarjo) dari wilayah Kabupaten Surabaya. Melalui Staatsblad No 6 Surat Keputusan Pemerintahan Hindia Belanda No 9, pada tanggal 31 Januari 1859. Surabaya dibagi menjadi 2, yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.
Menjadi Bupati pertama kala itu adalah R.T.P Tjokronegoro (Tumenggung Notopura) putra dari Bupati Surabaya, R.A.P Tjokronegoro. Tjokronegoro Bupati Sidokare ketika itu tinggal di Kampung Pandean dan mendirikan masjid Jamik pertama kali di kampung Kauman, namanya Masjid Al Abror.
Nah, baru pada 28 Mei 1859 nama Sidokare berubah menjadi Sidoarjo. Melalui Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad 1859 nama Kabupaten Sidokare berubah menjadi Kabupaten Sidoarjo.
Namun tidak banyak diketahui khalayak, bahwa dalam perjalanan sejarah Sidoarjo itu, ada nama penting yang banyak berjasa pada awal pembentukan kabupaten Sidoarjo. Tokoh itu adalah Sosro Negoro. Sosro Negoro adalah Demang Pertama Kabupaten Sidokare.
Sedangkan nama asli Sosro Negoro adalah Tubagus Kariman bin Pangeran Suro Menggolo bin Sultan Muhammad Arif Zainal Asyiqin Ponorogo.
Menurut sumber yang penulis peroleh, Sosro Negoro adalah murid dari Raden Mas Gunung atau akrab disapa Mbah Gunung yang makamnya ada di Cemengkalang, Sidoarjo.
Seperti diketahui, Raden Mas Gunung atau Mbah Gunung adalah ulama penyebar Islam di Bumi Jenggolo atau Sidoarjo. Raden Mas Gunung atau Mbah Gunung datang ke Sidoarjo sekitar tahun 1768 M. Ia datang bersama ayahnya, Pangeran Muhammad Thohir. Kala itu Mbah Gunung masih berusia 13 tahun sejak datang ke Sidoarjo.
Disamping dengan ayahnya, Mbah Gunung datang ke Sidoarjo juga bersama adiknya, Mbah Barmawi yang makamnya ada di Ngaresrejo, Sukodono. Juga saudaranya yang lain bernama Mbah Jogoreso makamnya ada di Mbeseren, Jabon, Sidoarjo.
Catatan penting yang lain dari cerita cikal bakal lahirnya Kabupaten Sidoarjo adalah adanya tokoh ulama yang dikenal luas masyarakat Sidoarjo sebagai tokoh yang berjasa mengajari batik warga Jetis, Kauman dan sekitarnya, yaitu Mbah Mul (Mbah Mulyono). Karena itulah dikemudian hari, di Jetis Sidoarjo dinobatkan sebagai Kampung Batik.
Tidak banyak catatan yang bisa diperoleh, siapakah sebenarnya Mbah Mul ini sehingga ia dikenal luas masyarakat Sidoarjo sebagai tokoh yang berjasa mengajari batik warga sekitar kampung Kauman tersebut.
Tinggalkan Balasan