Sidoarjo | JATIMONLINE.NET,- Demokrasi indonesia saat ini dalam keadaan darurat. Tiga pilar demokrasi saat ini di ambang kehancuran karena pertontonkan pengkhianatan terhadap konstitusi.

Menurut Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII) Umsida Sidoarjo, Indonesia kini berada dalam bahaya otoritarianisme.

Apa yang dilakukan anggota DPR saat ini, dianggap perwujudan dari kolusi dan nepotisme, yang mencederai cita-cita Reformasi 1998.

Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap Undang-Undang Pilkada. Dalam putusannya, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD.

MK juga memutuskan bahwa usia Cagub dan Cawagub harus berumur 30 tahun saat penetapan calon.

Setelah putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mengadakan rapat mengenai revisi UU Pilkada yang dilakukan secara mendadak sehari setelah MK membacakan keputusannya. Badan Legislatif (Baleg) melakukan manuver dengan mengabaikan putusan MK dan justru merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki perbedaan substantif dengan putusan MK.

Dua poin penting yang diabaikan oleh DPR dari putusan MK adalah terkait pengajuan calon kepala daerah dan batas usia calon. Dalam revisi UU Pilkada, DPR membuat syarat pencalonan kepala daerah bagi partai politik yang memiliki kursi di tingkat DPRD minimal harus memiliki perolehan 20% kursi atau 25% suara di Pileg. Sementara terkait usia calon, DPR menetapkan usia 30 tahun adalah pada saat pelantikan.

Syarat pengajuan calon berpotensi membuat Pilkada 2024 mengalami berbagai masalah, mulai banyaknya kotak kosong (di lebih dari 150 daerah), persekongkolan politik, dan lain sebagainya.

Pilkada yang semestinya digunakan untuk memilih pemimpin rakyat hanya menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat.

Sementara syarat usia pencalonan diduga merupakan upaya untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga anak bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pengarep yang saat ini masih berusia 29 tahun.

Jika keputusan MK dijalankan, maka Kaesang tidak bisa mendaftar karena pada saat pendaftaran usianya masih 29 tahun. Sementara revisi UU Pilkada yang merujuk keputusan MA memungkinkan Kaesang mendaftar karena jika terpilih pada Pilkada mendatang, ia akan ditetapkan pada usia 30 tahun.

Hal tersebut merupakan bentuk korupsi pada tatanan konstitusi yang berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan. Dalam sistem konstitusi negara Indonesia, keputusan MK adalah final dan mengikat sesuai bunyi pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan bahwa kewenangan MK di antaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

Semua elemen wajib taat menjalankan apa yang diputuskan oleh MK tanpa bisa menempuh upaya lain. Tidak mentaati putusan MK adalah bentuk pengkhianatan pada konstitusi.

Oleh karenanya Jaringan PK PMII Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang telah Menciderai dan menghianati konstitusi serta membahayakan kedaulatan hukum.
  2. Meminta pemerintah untuk Menolak dan menghentikan pembahasan RUU Pilkada.
  3. Menyerukan para elite politik, para ketua umum partai dan para pimpinannya, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan yang sebenarnya.
  4. Mentaati dan menghormati putusan MK No 60/PUU-XII/2024 & No 70/PUU-XII/2024 dengan tidak Mendaftarkan kandidat kepala Daerah yang diusung yang TIDAK memenuhi Syarat sesuai keputusan MK
  5. Meminta kepada KPU untuk memegang teguh Keputusan MK No 60/PUU-XII/2024 & No 70/PUU-XII/2024 sebagai pedoman falam penyelenggaraan PILKADA
  6. Meminta kepada seluruh Kader PMII UMSIDA untuk melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan masyarakat luas sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi Negara. (red).