H. Sholeh, Kepala Desa Balonganyar saat menerima penghargaan sebagai pemenang Bursa Inovasi Desa di Kabupaten Pasuruan

Pasuruan,- Desa Balonganyar, Lekok, Pasuruan bisa dibilang sebagai desa yang unik. Disamping sukses mengelola kotoran ternaknya sebagai biogas, sehingga dijuluki sebagai Desa Mandiri Energi. Jumlah penduduk desanya itu kalah jauh dibanding dengan jumlah sapinya. Dari 7225 penduduk desa, jumlah sapi perahnya hampir mencapai 9000 ekor.

Soal peternakan sapi, Desa Balonganyar tergolong “senior”. Seperti dituturkan H. Ridwan dan Saifuddin, Perangkat Desa Lekok, bahwa penduduk Desa Lekok itu beternak sapi sudah turun temurun. Sudah lama sekali. Namun baru mengenal koperasi susu itu sejak era tahun 1980 an,” terang Saifuddin, Perangkat Desa Lekok.

H. Ridwan menjelaskan, Desa Lekok mulai mengenal biogas itu sejak eranya Kepala Desa H. Sholeh. “Bahkan Desa Lekok ini beberapa kali memenangkan lomba Inovasi Desa, baik ditingkat Kabupaten, Propinsi maupun tingkat nasional,” terang H. Ridwan, Perangkat Desa Lekok itu bangga.

Piagam penghargaan yang sempat difoto oleh media ini di Kantor Desa Balonganyar, mendapatkan penghargaan dari Bupati Pasuruan, H. Irsyad Yusuf. Balonganyar Lekok, Pasuruan menjadi Desa terbaik tingkat Nasional kategori Prakarsa dan Inovasi Desa, tahun 2018.

Sebagimana pernah dituturkan Kepala Desa Balonganyar, H. Sholeh, dulu sebelum ada program biogas, kotoran ternak semua dibuang ke sungai hingga mengalir ke tambak sekitar Desa Balonganyar yang mengakibatkan bandeng-bandeng mati.

H. Ridwan dan Saifuddin, perangkat Desa Balonganyar menuturkan, meski program biogas itu adalah program yang bagus, namun tidak semua peternak sapi perah di Desa Balonganyar bisa melaksanakan program biogas.

Mereka menambahkan, belum terealisasinya semua program biogas itu lebih disebabkan karena keterbatasan lahan dari masing masing peternak. “Sekarang masih ada sekitar 100 unit biogas. Untuk 1 unit biogas itu bisa dimanfaatkan oleh 2-3 KK (kepala keluarga),” tambahnya.

Soalnya pendanaan pembuatan biogas, lanjutnya, Desa Balonganyar tidak menemui kendala. Semua masyarakat Desa Balonganyar yang ternak sapi, dalam membuat biogas tidak mengeluarkan biaya pribadi sepeser pun.

“Semua biayanya ada yang dari dana desa, dana provinsi bahkan ada yang dari sponsor. Enak sekali sebenarnya peternak sapi perah disini. Cuma kita belum bisa merealisasi semua program biogas itu karena terkendala tempat,” tuturnya.

Penemuan biogas di Desa Balonganyar itu merupakan langkah solusi untuk mengurangi pembuangan limbah kotoran sapi. Bayangkan, dari 32 RT yang ada di Desa Balonganyar, kata perangkat desa itu, hampir rata-rata per RT ada sekitar 250 ekor sapi perah.

“Jumlah semua sapi perah hampir mencapai 9000 ekor sapi perah. Sedangkan jumlah penduduk Desa Balongayar hanya mencapai 7225 jiwa,” terangnya.

Perangkat Desa Balonganyar sedang menunjukkan kandang sapi perah yang tidak membuat biogas karena keterbatasan lahan.

Menurut perang desa ini, Desa Balonganyar nyaris secara ekonomi tidak terdampak corona yang hari ini ramai dibicarakan orang.

“Kalau terdampak SE ada, tapi tidak signifikan, itu bagi masyarakat desa yang kerjanya diluar desa. Bagi yang peternak sapi perah ya tidak terdampak corora secara ekonominya,” terang perangkat ini.

“Lah kalau di sini dilockdown bagaimana kami ini harus ngarit rumputnya kalau tidak bisa keluar rumah. disamping itu sapi perah itu susunya ya harus diperah tiap hari, karena kalau tidak maka sapinya akan mengamuk dan embing dari susu sapi itu akan membengkak.” terangnya.

Lahan Yang Cukup, Bikin Biogas Bermanfaat Untuk Warga Masyarakat

Sementara itu, dibagian lain, Sumarno, Perangkat Desa Balonganyar yang membuat biogas untuk pengelolaan limbah kotoran sapi menunjukkan pada media ini cara menggunakannya.

Dilahannya yang lebih dari 2 M2 disebelahnya kandang sapi itu, Sumarno menjelaskan kepada media ini bagaimana cara mengoperasionalkan biogas. Secara kebetulan biogas Sumarno, yang dibangun dengan dana desa itu prosesnya secara sederhana.

Sumarno, perangkat desa ini menunjukkan perangkat pembuatan biogas yang sangat sedarhana

Secara sederhana, Sumarno menjelaskan, aliran kotoran sapi yang turun dari got kecil itu disekrop secara manual, terus dimasukkan sumur penampungan kotoran, yang selanjutnya dioperasikan untuk dibuat biogas.

“Ini contoh pembutan biogas yang sederhana. Dibeberapa tempat penduduk ada juga yang dibuatkan biogas yang lebih maju,” terangnya.

Dibutuhkan lahan 2 M2 untuk bisa merealisasi pembuatan biogas itu. Dibagian lain Sumarno juga menunjukkan tumpukan kotoran sapi yang sudah terurai yang sudah dipakai untuk bahan biogas.

“Kotoran sapi yang sudah terurai itu bisa dipakai bahan untuk pupuk organik. Namun jarang peminatnya. Ya ada beberapa yang berminat untuk membeli sisa kotoran sapi itu namun tidak seberapa,” jelas Sumarno.

Kompor berbahan biogas. Sudah diproses dan apinya sudah tidak mengeluarkan aroma kotoran sapi.

Sumarno menuturkan, pendapatan peternak sapi perah itu naik turun. Tergantung volume susu yang dihasilkan dari perahan sapinya. Untuk sapi perah yang usianya sudah lama dan tua dari mulai masa beranak, umumnya hasil susunya tidak sebanyak ketika baru beranak. Untuk susu sapinya, dia hanya mendapatkan 16 liter perhari dari 4 ekor sapi yang produktif. Itu disebabkan karena usia sapinya sudah terbilang tua.

“Kalau habis beranak, kira-kira umur sebulan dari usia beranaknya, sapi perah itu bisa menghasilkan susu 18 liter perekor sapi. Jadi penghasilan peternak sapi perah itu naik turun,” terangnya.

Soal biaya produksi, untuk peternak rumahan jarang dihitungnya. Biasanya soal ngarit rumput itu dikerjakan sendiri. “Yang terbanyak biayanya itu dari dedak, gamblong, ampas tahu dan konsentrat,” katanya melanjutkan.

Soal harga susu menurutnya berfariasi, Ada yang membeli dengan harga Rp 5.600 perliter, ada yang Rp 5.500. “Selisih harga tidak seberapa kok. Itu tergantung TS (total solidnya) dari kandungan susunya kalau TS nya bagus harganya ya mahal,” jelas Sumarno. (mnr).