Fatihul Faizun
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik dan Advokasi (PUSAKA) Sidoarjo

Sidoarjo,- Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo berencana merevisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo tahun 2009-2029. Proses pengajuan revisi telah sampai di meja Panitia Khusus (Pansus) Raperda RTRW DPRD Sidoarjo.

Rencana revisi tersebut kemudian memantik kontroversi. Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik dan Advokasi (PUSAKA) Sidoarjo, Fatihul Faizun, menyoroti rencana tersebut.

Pria yang akrab dipanggil Paijo itu mengatakan kepada jatimonline.net, bahwa ada persoalan krusial yang harus menjadi pertimbangan Pansus dalam merespon pengajuan Raperda tersebut dari Pemda Sidoarjo khususnya soal rencana pengurangan lahan pertanian.

“Dalam Undang-undang No.41 Tahun 2009, Pasal 1, ayat 3 memberikan pengertian bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Artinya pengurangan pada LP2B secara besar-besaran seperti pengajuan Pemkab Sidoarjo dalam Draft Revisi Raperda RTRW tersebut akan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya di Sidoarjo,” kata Paijo serius.

Paijo menambahkan, draft Revisi Raperda RTRW Sidoarjo 2020 menyebut Luasan lahan sawah untuk pertanian tanam sebesar 7.154,26 Ha. Padahal dalam Perda Provinsi Jawa Timur No.5 Tahun 2012, menyatakan bahwa, Sidoarjo ditetapkan luasan lahan sawah untuk LP2B seluas 12.205,82 hektar dari lahan yang ada 13.544,07 hektar, artinya ada pengurangan lahan sebesar 6.389,81 ha.

“Lahan pertanian seharusnya dilindungi dan bila perlu ada pengembangan infrastruktur pertanian dalam upaya itu. Alih fungsi lahan pertanian yang secara jumlah sudah kecil ini tidak bisa ditolerir dengan dalih apapun. Menurut saya lebih baik Pansus RTRW DPRD Sidoarjo Mengembalikan naskah akademik dan Raperda RTRW itu kepada Pemda Sidoarjo untuk dikaji ulang karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih atas, khususnya soal alih fungsi lahan,” tegas Paijo.

Ada sangsi khusus pada pelanggaran alih fungsi lahan pertanian, Paijo kembali menambahkan, dalam Pasal 72 ayat 1 UU No. 41 Tahun 2009 berbunyi: Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (uzi).