Pensiun Dari PNS, Ki Harso Waluyo Jadi Dalang, Sambil Menjaga Dan Melestarikan Budaya Jawa
Pasuruan | JATIMONLINE.NET,- Nama Ki Suharso Waluyo dikomunitas pecinta dan pelestari budaya Nusantara di Pasuruan sangat familiar. Maklumlah, pria kelahiran Trenggalek, 66 tahun lalu itu, kini menekuni profesi sebagai dalang sekaligus nguri nguri budaya Jawa, di Pasuruan.
Ki Harso, panggilan akrab pria yang sering berpakaian adat Jawa ini, merupakan keponakan dari Bupati Pasuruan 1978 – 1988, Jliteng Suyoto, Bupati Jliteng adalah adik dari Bapak Ki Harso, Kapten Sudjiono seorang dalang ABRI tahun 1970 an.
Ki Harso sangat konsen dengan gerakan pelestarian budaya Jawa. Di LP2BN (Lembaga Pelestari Budaya Nusantara) Pasuruan, Ki Harso tidak masuk secara langsung di lembaga tersebut, namun berposisi nyengkuyung atau supporting.
Kecintaan Ki Harso pada budaya Jawa bisa dilihat dari bangunan Djoglo Kejayan dan aneka seni bernuansa Jawa yang tergambar jelas menghiasi bangunan Djoglo Kejayan. Penataan arsitektur bangunan Djoglo Kejayan tidak asal asalan. Tidak sekedar pokok indah dan menarik, tetapi penuh makna filosofi Jawa.

Ki Harso memulai profesi dalang sejak 2019, setelah pensiun dari PNS tahun 2017. Karena itu Ki Harso oleh koleganya dijuluki dalang tiban. Disamping sebagai dalang, Ki Harso juga mengelola gedung kesenian Djoglo Kejayan.
Di Djoglo Kejayan ini Ki Harso “menumpahkan” semua kekagumannya tentang filosofi budaya Jawa. “Semua arsitektur bangunan Djoglo itu, mengandung makna nilai filosofi Jawa yang baik,” terang Ki Harso.
Menurut Ki Harso, bangunan Djoglo Kejayan ini adalah satu satunya bangunan Joglo yang pakem di Kabupaten maupun Kota Pasuruan, sesuai nilai filosofi budaya Jawa. “Bahkan di Sidoarjo dan Probolinggo, tidak ada bangunan joglo yang pakem, kecuali Djoglo Kejayan ini, terang Ki Harso bersemangat.
Bangunan yang pakem itu, maksudnya, ada bangunan Jukak 2 yang melambangkan dua gunung sebagai tempat bertapa orang suci. Maka bangunan ini saya anggap sebagai bangunan yang sakral Sedangkan yang tengahnya itu namanya paringgitan.
“Jukak 2 bisa juga sebagai melambangkan kehidupan. Seperti kehidupan masih didalam kandungan, kehidupan sudah dewasa dan kehidupan di akhirat. Sedangkan Soko guru ada 4 buah, itu melambangkan satrio 4 pancer wali, ada juga yang melambangkan kekuatan alam, yaitu angin, bumi, api dan air. Sedangkan gambar kijang (kepala kijang yang dipasang di 4 Soko guru itu) melambangkan harta kekayaan,” jelas Ki Harso.

Pintu masuk gapura rumah dalam bangunan rumah Limasan adat Jawa ini, lanjutnya, ada nilai filosofnya. Ukiran sebelah pintu itu namanya panji sosi, yang dirakit menjadi 1 titiknya ada bunga teratai dan diatasnya ada sulurnya. Bunga teratai melambangkan Tuhan Yang Maha Esa dan kebaikan itu menyulur dalam kehidupan kita.
“Sedangkan yang tengah ada model M dalam pintu rumah Limasan sebelah bangunan Djoglo Kejayan itu ada ukiran nanasan. Orang sini menyebutnya nanasan, tapi itu sebenarnya bukan nanas, tapi gambar bunga teratai yang terbalik. Itu artinya siapapun yang masuk dalam rumah ini, siapapun dia, apapun pangkatnya, ia harus patuh dan tunduk kepada tuan rumah,” terang Ki Harso.
Disamping bangunan joglo, Ki Harso juga sangat mengagumi nilai nilai budaya Jawa yang sampai hari ini ia junjung tinggi selama kehidupan sehari harinya. Baginya, budaya Jawa adalah bagian dari jati dirinya yang sangat bernilai untuk dilestarikan. Karena itu Ki Harso bertekad nguri nguri atau melestarikan budaya Jawa.
“Sebenarnya kita mengenal budaya Jawa itunkan sejak lama. Itu yang harus kita uri uri. Kita sudah lama dikenalkan Toto kromo, unggah-ungguh. Dalam kehidupan sehari hari kita juga dikenalkan. Gotong royong, saling membantu. Bersikap baik kepada orang lain, saling menghormati. Jadi itu budaya Jawa yang nilai filosofinya baik jika diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan karena itu harus kita jaga kelestariannya,” pangkas Ki Harso. (mnr).
Tinggalkan Balasan