Khoiri Mahfudz, Wakil Ketua PCNU Sidoarjo bersama sesepuh NU, Habib Lutfi Bin Yahya

Sidoarjo | JATIMONLINE.NET,- Sudah jama’ diketahui, setiap menjelang pemilihan kepala daerah, di Kabupaten/Kota yang basis NU nya kuat, NU selalu jadi rebutan menarik simpati kantestan politik untuk mendulang pundi pundi suara. Termasuk di Kabupaten Sidoarjo.

Dalam beberapa pertarungan politik pilkada, utamanya di Jawa Timur, embel-embel sebagai kader NU sang calon kepala daerah, bahkan merasa sangat perlu dicantumkan sebagai bahan pertimbangan untuk menarik simpatik gerbong besar suara nahdliyyin.

Tidak ketinggalan di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai jumlah yang mayoritas, suara nahdliyyin di Kabupaten Sidoarjo ini menjadi laris manis untuk dipinang setiap calon kepala daerah.

H. Khoiri Mahfudz, Wakil Ketua PCNU Sidoarjo, kepada media ini berpesan kepada semua lapisan pengurus NU di Sidoarjo, supaya menyikapi pilkada Sidoarjo ini dengan wajar wajar saja. Tidak perlu mencemaskan terlalu berlebihan jika si A atau si B yang jadi kepala daerah di Sidoarjo, akan “meninggalkan” apalagi sampai “memusuhi” NU.

“Semua calon kepala daerah itu adalah NU dan mencintai NU. Karena itu janganlah takut berlebihan. Pak Kelana itu kader NU. Pak Bambang Haryo itu juga NU. Dia juga mencintai NU. Dan lain lain. Semuanya NU. NU di Sidoarjo itu mayoritas. Dan saya yakin sekarang ini di Sidoarjo tidak akan ada yang berani memusuhi NU. Jadi janganlah berlebihan menyikapi pilkada Sidoarjo. Yang wajar wajar saja lah,” terang Wajik ketua PCNU yang pernah jadi Wakil Direktur Rumah Sakit Islam Siti Hajar ini.

Khoiri menambahkan, bahkan Kelana juga menyumbang Rp 1 Milyar untuk pembangunan masjidnya NU Sedoarjo. Bambang Haryo Sukartono (BHS} juga menyumbang ratusan juta.

“Belum sumbangan berupa bingkisan kepada warga NU. Sumbangan sumbangan itu bahkan melebihi dari kader kader NU sendiri. jadi janganlah berandai andai. Nanti kalau yang jadi bupati tidak si A, NU akan begini begitu. Janganlah berprasangka berlebihan. Saya yakin, siapapun nanti yang terpilih sebagai Bupati Sidoarjo, akan mencintai NU,” terang Khoiri.

NU, lanjut Khoiri, punya perjalanan panjang dengan dinamaka politik yang menyertainya.

“NU lahir sejak zaman kolonial belanda. Pada zaman itu NU berjuang melawan penjajahan. Artinya NU juga dimusuhi penjajah, ya tidak apa apa. Zaman Orde Lama dan Orde Baru NU dimargilkan juga tidak apa-apa. NU sudah kenyang dengan asam garamnya kehidupan. Jadi kalau ada yang khawatir secara berlebihan, jika Si A atau si B NU, seharusnya tidak pakai si B, tanpa NU. Jadinya Si A atau si B jadi Bupati, bukan dari PKB misalnya, NU akan “rusak” atau dimusuhi, saya jamin tidak akan seperti itu. Semua calon bupati di Sidoarjo adalah orang NU dan akan mencintai NU,” sergah Khoiri menegaskan.

Kaitannya dengan PKB, Khoiri kembali menegaskan, kalau PKB adalah partai terbuka, yang tidak semua kadernya orang NU. Bahkan dibeberapa daerah, bukan orang Islam.

“Misalnya di Bali ada yang Hindu. Di Medan ada yang Kristen. Itu penegasan kalau PKB adalah partai terbuka,” jelas Khoiri.

Jadi menurutnya, NU tidak perlu terlalu mengaktifkan diri ke partai, atau dukung mendukung dalam pilkada, baik secara organisasi ataupun secara pribadi. Dengan demikian lanjutnya, supaya NU secara organisasi tidak terseret jauh mengurusi politik praktis.

“Sehingga jangan sampai menjadi guyonan, NU ternyata lebih berpolitik ketimbang partai politik,” tandas Khoiri. (mnr).