Netizen Penghujat Habib Abdul Qodir Mencium Tangan Gus Thuba, Gagal Pahami Antara Adab dan Ta’dzim
Bahkan dilevel tertentu, seorang kiai sepuh mencium tangan kiai yang lebih muda, juga sering dijumpai. Misalkan sikap tawadlu’ KH. Husain Ilyas Mojokerto yang usianya lebih tua mencium tangan Gus Sabut Pranoto Projo saat acara Semaan Al-Quran. Atau misalkan Gus Muwafiq yang terkenal itu mencium tangan Gus Sabut. Semua terjadi begitu saja. Ya sama ihlasnya. Tidak ada yang merasa direndahkan. Warga masyarakat, para santri yang melihatnya juga melihatnya juga biasa saja, tidak su’udzun yang macam-macam, tidak gaduh juga tidak ada yang harus dicelah.
Namun pada peristiwa Habib Abdul Qodir ini menjadi luar biasa karena persepsi yang keliru dari para netizen yang menganggap perlakuan kepada para Habaib itu harus selalu diatas kiai apalagi cuma Gus yang ada di bumi nusantara ini, utamanya para nitizen yang mencela Gus Thuba itu. Tanpa bermaksud merendahkan Habib Abdul Qodir, sikap ta’dzim yang ditunjukkan Habib Abdul Qodir itu sebenarnya biasa terjadi di kalangan santri Nahdliyin dan mestinya tidak ada yang harus dicela karena itu terjadi bukan karena paksaan atau settingan.
Sebagaimana yang ditulis oleh Tsabit Abil Fadhil II dalam klarifikasinya, yang ia sebut meski bukan orang yang pertama menyebar Video penuh kebencian pada Gus Thuba itu, yang beredar di medsos, di Grup FB Jam’iyah Dzikrul Ghofilin maupun YouTube, akhirnya Taslim juga berpendapat yang sama bahwa Gus Thuba memang orang yang pantas untuk dimuliakan, bahkan sekelas Habib Abdul Qodir, setelah memperoleh bukti-bukti bahwa Habib Abdul Qodir adalah Mikhollidnya Gus Miek.
Sekali lagi saya jelaskan, adab dalam hubungan antara guru dengan murid atau santri dengan kiainya bahkan kepada keluarga kiainya, itu berbeda dengan adab yang dimaksud adab pada umumnya antara yang muda harus menghormati yang tua. Didunia pesantren, adab ini bahkan lebih ditekankan oleh kiai pada santri- santrinya. Maka, hampir tidak ditemukan seorang santri berani melawan seorang kiainya, sepertinya halnya seorang siswa sekolah yang terkadang ada yang berani melawan gurunya, bahkan secara fisik.
Sikap ta’dzim atau memuliakan guru, ustadz dan kiai pengajar di pesantren itu diyakini sebagai wasilah yang sangat dahsyat yang bisa mengantarkan seorang santri menjadi orang yang berguna atau mendapatkan ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat.
Contoh sikap tawaddlu KH. Hasyim Asy’ari, kiai pendiri NU dan gurunya para kiai di Nusantara ini. Kiai Hasyim misalnya, bahkan tidak berani membangun rumah yang tingginya melebihi tinggi bangunan rumah gurunya, KH. Khozin Buduran, Sidoarjo, karena saking tawaddlu’nya pada Kiai Khozin gurunya di Pondok Panji, Sidoarjo. Hingga KH. Hasyim Asy’ari harus mengutus santrinya untuk mengukur tinggi rumah Kiai Khozin supaya dalam membangun rumah, tingginya tidak melebihi dari tinggi bangunan rumah Kiai Khozin. Wallahu a’lam.
Tinggalkan Balasan