3 dari 3 halaman
Prof. Rohmat Wahab (diatas podium)

Langkah PBNU itu tersebut dibuktikan dengan memanggil dan mengingatkan dengan tegas Ketua PCNU Sidoarjo yang MWC- MWC-nya melakukan dukungan politik pilpres untuk Muhaimin Iskandar, Ketua PKB, dan PCNU Banyuwangi yang melakukan dukungan politik yang sama.

Menanggapi hal tersebut, Prof Rahmat Wahab yang juga Mustasyar PWNU DIY periode 2016 – 2022 ini, menegaskan kalau hal demikian itu harus senantiasa dikawal.

“Tapi menurut saya, soal Khittah NU itu artinya, NU harus membuat jarak yang sama dengan semua partai politik, tidak hanya dengan PKB. Soal kepengurusan PBNU yang baru periode ini menurut saya perlu dikritisi karena komposisinya memang mengurangi pengurus PBNU yang politisi PKB, namun ternyata memasukkan politisi Golkar dan PDI-P dijajaran pengurus PBNU. Dan itu menurut saya suatu ketika akan berdampak pada penegasan Khittah NU 1926,” ujar aktivis NU yang juga cucu menantu KH. Wahab Hasbullah tersebut.

Profesor yang juga pernah menjadi Rektor UNY periode 2009 – 2017 ini juga mengkritisi soal pergantian pengurus lama secara besar-besaran. Itu dimulai sejak periode kepengurusan PBNU yang dipimpin KH. Said Agil. Setelah Muktamar di Jombang itu, kader-kader dan Kiai-Kiai yang dekat dengan KH. Hasyim Muzadi dan Gus Sholah tidak diakomodasi di kepengurusan KH. Said Agil Syiroj tahun 2015- 2021. Hal yang sama terjadi di kepengurusan PBNU yang baru ini, hanya sebagian kecil yang dari kubu Kiai Said Agil.

“Yang demikian itu menunjukkan bahwa penentuan anggota kepengurusan PBNU lebih mementingkan kepentingan kelompok, bukan institusi. Sehingga hakekatnya, institusi atau Jam’iyah NU kehilangan kader-kader terbaiknya,” terang Profesor yang juga ketua KKNU 1926 ini. (mnr).