2 dari 3 halaman
Prof. Rohmat Wahab, saat Konferwil PWNU DIY 2022

Prof. Rohmat Wahab, mantan Ketua Tanfidziyah PWNU DIY (Daerah istimewah Yogyakarta) periode 2011 – 2016 menuturkan, politisasi di NU itu tidak hanya terjadi saat pilpres saja, tetapi sudah merebak hampir disetiap hajatan politik, baik Pilkada Kabupaten, Pilkada Provinsi maupun pilihan legislatif.

NU, kata Prof. Rahmat Wahab, jika tidak segera mengakhiri politisasi NU atau tidak benar-benar kembali ke Khittahnya, sebagai ormas sosial keagamaan, akan berbahaya bagi warganya maupun bagi organisasi NU.

“Umat dibawah ini akan pecah kalau elit-elit NU terus membawa lembaga NU kedalam pusaran politik praktis. Kita ini tidak melarang pribadi-pribadi Kiai NU atau aktivis NU untuk menentukan pilihan politiknya. Kalau pribadi, ya itu hak mereka, dipersilahkan. Tapi kalau membawa-bawa organisasi NU terus melakukan politisasi ke warga NU, itu yang tidak diperbolehkan. NU akan rugi besar kalau terus melakukan politisasi NU,” ujar Prof. Rohmat Wahab.

Disinggung soal langkah PBNU yang menegaskan tidak mentolerir bagi pengurus NU yang membawa organisasi NU untuk dukung mendukung politik praktis utamanya pilpres, Prof. Rohmat Wahab mengapresiasinya.

“Itu adalah kebijakan yang baik. Karena itu harus terus dikawal. Karena mengembalikan NU ke Khittahnya itu tidaklah mudah. Karena politisasi di NU sudah berlangsung sejak lama. Maka, menurut saya, keputusan para ulama NU di Muktamar Situbondo, NU kembali ke Khittah 1926 itu bukanlah keputusan yang asal-asalan. Itu sudah dipikirkan oleh ulama-ulama NU yang muhlisin pada waktu itu untuk terus menjaga kemandirian NU,” terangnya.

Seperti diketahui, PBNU pada periode 2021 – 2026, melalui ketua PBNU terpilih, KH. Yahya Kholil Staquf, PBNU tidak akan mencalonkan presiden maupun wakil presiden di pilpres 2024 mendatang. PBNU juga akan melakukan langkah tegas bagi siapa saja pengurus NU yang membawa-bawa organisasi untuk dukung mendukung dalam pilpres mendatang.