Sawah milik H. Mashur yang dipersengketakan. Di desa Pajaran, Rembang, Pasuruan

Pasuruan,- Bicara warisan terkadang tidak ada putusnya. Jika tidak bisa memanfaatkan tanah warisan itu dengan baik, seringkali tanah warisan itu menjadi masalah dikemudian hari. Setidaknya itu yang dialami H. Mashur, 60 tahun, warga Desa Pajaran, Rembang, Pasuruan.

Kisah sengketa tanah milik H. Mashur itu bermula sekitar tahun 2016 an. Ketika itu, sawah seluas 2600 an M2 milik H. Mashur waris dari Atemi dijual oleh saudaranya, H. Wafi kepada tokoh masyarakat di Desa Pajaran, Gus Muhib

Kepada media ini, M.Rido’i, 40 tahun, anaknya H. Mashur menceritakan bahwa awal mula sawah milik bapak ya itu memang digarap oleh Pak Denya (kakaknya H. Mashur) seumur hidup.

“Zaman dulu itu kalau pinjam meminjam kan gampang sekali. Namanya kan masih saudara. Karena dianggap bapak ini berkecukupan, maka pak de saya itu pinjam pakai sawahnya bapak, seumur hidup. Oleh bapak saya ya dipinjamkan saja tetapi dengan berpesan supaya sawah tersebut jangan sampai dijual karena sawah tersebut adalah hak miliknya bapak saya,” kata M.Rido’i mengawali ceritanya, yang didampingi bapaknya, H. Mashur.

Usut punya usut, ternyata sawah tersebut oleh H. Wafi dijual kepada Gus Muhib dengan hanya menggunakan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) tanpa menggunakan pethok (bukti kepemilikan tanah).

Penjualan sawah tersebut menurut M.Rido’i terasa janggal karena waktu itu H. Wafi dalam keadaan sudah pikun karena “termakan usia”.

“Ketika itu umur pak de saya 85 tahun. Dan sudah sakit sakitan. Bahkan sempat saya jenguk, kepada saya saja sudah tidak ingat. Sepertinya kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bu de saya untuk mempengaruhi pak de supaya menjual sawah yang bukan miliknya itu,” jelas Rido’i.

Mengetahui tanahnya dijual oleh H. Wafi, Rido’i ketika itu mensomasi Gus Muhib supaya tidak melanjutkan proses jual beli tanah itu karena tanah itu merupakan milik bapaknya, H. Mashur. Rido’i bahkan mengkonfirmasi ke Kecamatan Rembang supaya tidak memproses ke PPAT atau AJB kan proses jual beli sawah tersebut.

Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Karena sudah mengeluarkan uang Rp 80 juta untuk pembelian sawah tanpa petok itu, akhirnya Gus Muhib “mengembalikan” sawah tersebut kepada Kepala Desa Pajaran, dengan maksud supaya uangnya yang terlanjur keluar itu bisa kembali. Itu dilakukan Gus Muhib lantaran yang punya sawah, H. Mashur, berharap sawah tersebut dikembalikan.

H. Mashur, pemilik sawah. Warga Desa Pajaran, Rembang, Pasuruan. Kini berusia 60 tahun

“Sebenarnya yang dilakukan Gus Muhib mengembalikan sawah kepada kepala desa itu salah. Wong itu sawah punya bapak saya. Itu dibuktikan bahwa pethok sawah itu milik bapak saya. Mungkin Gus Muhib juga merasa tertipu karena sawah yang terlanjur dia beli, ternyata bermasalah. Uang terlanjur beliau keluarkan . Karena yang repot, setelah proses “jual beli” itu, satu bulan kemudian pak de saya meninggal dunia. Jadi ketika saya minta Gus Muhib untuk tidak meneruskan proses jual beli saya itu, mungkin repot juga perasaannya beliau karena uangnya terlanjur keluar, pak de saya meninggal,” kata Rido’i bercerita.

Kepada media ini Rido’i juga bercerita kalau proses “menjual” sawah dari Gus Muhib ke Watini (istri Kepala Desa Pajaran) juga hanya menggunakan SPPT sawah tanpa pethok atau surat bukti kepemilikan sawah. Kepada Kepala Desa Pajaran, Irhamul Ibad. M. Rido’i menyanyangkan sikapnya yang berani menerima jual beli sawah tanpa menggunakan pethok atau hanya pakai SPPT saja.

Berujung Pelaporan ke Polres Pasuruan


Karena merasa bahwa sawah itu masih milik bapaknya, H. Mashur. Akhirnya M.Ridoi menanami sawah seluas 2600 an M2 tersebut. Namun dalam perjalannya tanaman tersebut dirusak oleh pihak Watini karena M.Rido’i dianggap telah menyerobot sawah yang telah dibeli oleh Watini (istri Kepala Desa Pajaran) tersebut. Itu terjadi sekitar tahun 2019. Terjadilah cek cok antara M. Rido’i dan pihak Watini (“pembeli” sawah).

“Watini marah karena merasa sawah itu adalah miliknya. Dia menuduh saya telah melakukan penyerobotan tanah. Terus saya tanya, kalau begitu tunjukkan mana surat jual beli tanahnya. Dianya begitu dia tidak bisa membuktikannya,” cerita M. Rido’i.

Bukan hanya disitu, ternyata pihak Watini juga melaporkan M. Rido’i ke Polres Pasuruan dengan tuduhan melakukan penyerobotan tanah.

“Tapi itu berakhir mengambang dan tidak ada kelanjutannya. Saya waktu itu meminta supaya dipertemukan pihaknya Watini di Polres supaya semuanya menjadi jelas. Namun berakhir mengambang. Saya tidak pernah dipertemukan dengan pihaknya Watini di polres,” jelas M. Rido’i.

Menjual Tanah/Sawah Tanpa Persetujuan Hak Waris, Jual Beli Tersebut Bisa Dibatalkan Sesuai KUHP pasal 1365.

Surat Keterangan Jual Beli Tanah yang Bertanda Tangan dan Stempel Kepala Desa

Belum kelar urusan sengketa tanah yang dipermasalahkan, sawah tersebut ternyata oleh Watini, istri Kepala Desa Pajaran, dijual lagi ke warga Singosari Malang. Sesuai yang tertera dalam surat pengikat perjanjian jual beli sementara di tingkat desa, sawah tersebut dijual dengan harga Rp 130 juta. Perjanjian jual beli itu ditanda tangani masing masing dari pihak Watini, 35 tahun, dan Nanik Juliastuti, 46 tahun, warga Singosari Malang.

Mengetahui sawahnya dijual kembali oleh Watini, pihak keluarga H. Mashur akhirnya melaporkan Watini ke Polres Pasuruan. Keluarga H. Mashur memberi kuasa kepada Khoirul Anam, Ketua LSM LKPK untuk melaporkan saudari Watini yang diduga melakukan penyerobotan tanah tanpa sepengetahuan ahli waris

Menurut Irul, panggilan akrab Khoirul Anam, sawah atau tanah yang dijual belikan tanpa persetujuan ahli warisnya bisa dibatalkan.

Sambil mengutip KUHP pasal 1365, Irul menjelaskan bahwa para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHP. (mnr).