Diskusi yang diinisiasi GUSDURian Peduli tentang amblesan tanah di Sidoarjo

Yogyakarta | JATIMONLINE.NET,- Semburan lumpur lapindo di Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 telah berlangsung 16 Tahun. Dampaknya masih terjadi hingga sekarang ini. Secara politis, semburan lumpur lapindo dikategorikan sebagai bencana alam yang dipicu oleh gempa bumi Yogyakarta 2006.

Namun perdebatan atas penyebab semburan lumpur masih berlangsung hingga saat ini, pasalnya semburan lumpur berada pada lokasi pengeboran migas PT Lapindo Brantas. Dalam perkembangannya, upaya produksi gas di Sidoarjo berlangsung massif dan ekspansif ditandai dengan upaya pengeboran lokasi baru, misalnya produksi migas lapangan Wunut dan Tanggulangin yang kini diduga sebabkan penurunan tanah.

GUSDURian Peduli menginisiasi diskusi terbuka bersama akademisi dan pemangku kepentingan ihwal peristiwa amblesan tanah di Kabupaten Sidoarjo. GUSDURian Peduli berkolaborasi dengan beberapa peneliti dari UGM, ITS, UPN “Veteran” Yogyakarta, UNAIR, pemangku kebijakan seperti BPBD Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET).

Keterlibatan banyak pihak ini sebagai salah satu upaya untuk menjawab tantangan pengurangan risiko bencana penurunan tanah yang disinyalir disebabkan oleh aktivitas produksi gas bumi.

Diskusi dilaksanakan 2 Juli 2022 dan dibuka oleh A’ak Abdullah Al Kudus selaku Ketua GUSDURian Peduli. Diawali dengan pembicara kunci dari Pemprov Jawa Timur yang diwakili oleh Kepala Dinas PRKP dan Cipta Karya serta Badan Geologi, dengan pembahasan mengenai dampak LUSI dan proses terjadinya penurunan tanah. Sesi diskusi panel diisi dengan paparan hasil penelitian dari Indra Arifianto (Dosen Teknik Geologi UGM), Noorlaila Hayati (Dosen Teknik Geodesi ITS), dan Adjie Pamungkas (Puslit Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS) mengenai identifikasi dan analisis penurunan tanah dan kajian kerugian pasca bencana banjir di Sidoarjo.

Penelitian Indra Arifianto menunjukkan bahwa munculnya lumpur gunungapi di Sidoarjo dengan volume 100 juta liter/hari pada area eksploarasi gas bumi menyebabkan penurunan tanah dengan laju 0,5 – 14,5 m/tahun. Sedangkan penurunan tanah juga terjadi di Wunut dan Tanggulangin mulai 2019 yang seiring dengan peningkatan kapasitas produksi 4 lapangan gas di kedua daerah tersebut. Penurunan tanah juga menyebabkan gas leakage dan banjir di wilayah Porong akibat aktivitas produksi lapangan gas bumi.

Sedangkan penelitian Noorlaila Hayati di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri Kecamatan Tanggulangin pada 2018-2021 menunjukkan terjadinya penurunan tanah hungga 60 cm, yang menyebabkan kedua desa tersebut kini berada di wilayah cekungan dan menyebabkan banjir hingga berbulan-bulan. Adjie Pamungkas melengkapi dengan menyajikan data nilai kerusakan dan kerugian banjir akibat penurunan tanah di kedua desa tersebut dari semua aspek penghidupan masyarakat yang mencapai Rp. 99,4 Miliar, dan rata-rata Rp. 130 juta per-KK.