Buta Huruf, Warga Malang Tak Tahu Telah Berikan Cap Jempol Atas Penjualan Tanahnya
Cap Jempol Diberikan Karena Diberitahu Cuma Sebagai Saksi
Malang,- Analogi pendidikan adalah modal dasar penting dalam hidup, mungkin kini dirasakan seorang warga di Desa Turirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
Berawal dari hak waris atas tanah dari orang tua, Misrina yang mempunyai 4 saudara kandung mendapatkan hak waris atas tanah yang dibagi semasa orang tuanya masih hidup.
Saat orang tuanya masih hidup itulah, warisan telah dibagi kepada 5 orang anak yaitu Buang, Pauwan, Misrina, Karina dan Musyriah, secara adil dan disepakati seluruh anak dan keluarga.
Sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, Bu Misrina terbilang sebagai anak yang hormat pada saudara tuanya.
Melihat kakak tertuanya yang bernama Buang memiliki banyak anak, Bu Misrina merasa kasihan. Dan kemudian merelakan tanah tegalannya untuk digarap kakak tertuanya tersebut selama kurang lebih 30 tahun.
Suatu ketika Buang berinisitif untuk membeli tanah milik Misrinah yang selama ini digarapnya. Namun oleh Misrinah ditolak karena memang tidak ada niatan untuk menjual tanah tersebut.
Buang berniat membeli tanah tersebut karena tanah yang bersebelahan dengan tanah Misrinah sudah dibeli Buang.
Saat proses jual beli tanah yang persis posisinya disebelah tanah tegalannya, Misrinah dimintai tanda tangan sebagai saksi atas proses jual beli tanah itu.
Karena buta huruf maka Misrinah tidak tahu apa isi surat tersebut, dan bersedia membubuhkan cap jempol pada surat jual beli itu.
Padahal tanpa sepengetahuan Misrinah yang buta huruf itu, surat yang dibubuhi cap jempolnya adalah surat jual beli tanah tegalan miliknya sendiri. Sengketa muncul saat kakak tertua Misrina meninggal.
Kini Buang telah meninggal. Persoalan kemudian muncul. Salah satu anak alm. Buang bernama Sutris, mengakui tanah milik Misrinah sebagai miliknya berdasar jual beli tanah yang ada cap jempol Misrinah.
Misrinah pun kaget bukan kepalang. Ternyata tanah tegalan yang selama ini direlakan untuk digarap kakak tertuanya alm. Buang selama puluhan tahun itu telah jadi milik ponakannya (anak kandung alm. Buang).
Merasa tidak pernah menjual tanahnya, Misrinah pun kaget dan protes. Dari beberapa kali perundingan selalu menemui jalan buntu. Akhirnya Misrinah meminta bantuan kepada Kepala Desa Turirejo
Setelah Buang Meninggal Sengketa Tanah Muncul
Perundingan menemui titik terang setelah ketiga kalinya pada Rabu, Pukul 10.00 (01/06/2020). Kepala Desa Turirejo, Arif Sukmawanto SH, MM., mengundang para pihak yang bersengketa.
Bertindak sebagai mediator, Kepala Desa juga menghadirkan beberapa orang saksi hidup atas obyek tanah yang disengketakan.
Lembaga Komunitas Pengawas Korupsi (L-KPK) Kabupaten Pasuruan juga turut hadir sebagai pihak yang ikut memediasi pihak yang bersengketa.
Kolaborasi dari beberapa unsur yang meliputi, Kepala Desa Turirejo, L-KPK, dengan disaksikan Babinkamtibmas, Babinsa serta Kepala Dusun, akhirnya berhasil menyelesaikan sengketa tanah tersebut secara kekeluargaan.
“Saya merasa sangat bersyukur karena tanah saya yang sudah puluhan tahun lamanya tidak bisa saya miliki, sekarang sudah bisa saya miliki sepenuhnya. Saya ucapkan terima kasih banyak pada bapak Kepala Desa Turirejo, L-KPK, Babinkamtibmas, Babinsa, Kepala Dusun serta seluruh pihak yang membantu saya,” kata Misrina dengan nada gembira.
Kesepakatan penting dari hasil mediasi tersebut adalah, tanah milik Misrina akan dikembalikan dan secepatnya akan dilakukan pengukuran. (rul).
Tinggalkan Balasan