Lis Hadiarso

Pasuruan,- Raut muka Lis Hadiarso, 64 tahun, warga Bangil yang kini tinggal di Semarang itu kelihatan lelah. Kerutan wajah lelaki yang bekerja sebagai tukang parkir di Semarang itu membuktikan itu.

Meski harus bolak balik Semarang-Bangil, Pasuruan, lelaki yang pernah tinggal di jalan jambu no,155, Bangil, Pasuruan itu semangatnya tetap tinggi dalam rangka memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagian warisan tanah yang terletak di Desa Kalirejo, Bangil, Pasuruan.

Kepada wartawan media ini, lelaki yang punya hobi merantau saat mudanya itu berkisah, bahwa saat ini ia lagi berjuang keras mendapatkan haknya atas tanah yang telah dibeli bapaknya, SD.Djasmadi, di Desa Kalirejo, Bangil, Pasuruan.

Seperti pada beberapa sidang mediasi di Kantor Pangadilan Agama (PA) Bangil, Pasuruan. Lis Hadiarso oleh saudara-saudaranya tidak diakui sebagai saudara dan “dicoret” sebagai daftar penerima hak waris atas tanah yang terletak di Desa Kalirejo, Bangil tersebut.

Pak Lis, demikian ia akrab disapa, menuturkan, bahwa pada pertemuan sidang mediasi yang kemarin, saudaranya tega membuat surat wasiat palsu atas nama bapaknya, SD.Djasmadi tidak mengakui sebagai anaknya.

“Surat wasiat palsu itu diberikan kepada majlis hakim saat sidang mediasi pada pertemuan sebelumnya. Kok tega saudara-saudara saya melakukan itu,” tutur Lis Hadiarso dengan nada menahan kecewa.

Seperti dituturkan Lis hadiarso, bahwa ia dengan saudara-saudaranya itu adalah saudara satu ayah, beda ibu. Lis, terpaksa harus ikut ayahnya dan ibu tirinya setelah ayahnya bercerai dengan ibunya.

“Ayah saya bercerai dengan ibu saya, ketika saya masih bayi. Setelah itu ayah menikah lagi dengan orang Bangil, namanya Ibu Roicha. Saya kemudian ikut ayah dan ibu Roicha itu di Surabaya. Saya tinggal di Surabaya itu cukup lama karena ayah bekerja sebagai pegawai PLN, hingga Ibu Roicha itu punya anak dengan ayah saya Setelah ayah saya pensiun, akhirnya pindah ke Bangil di Jalan Jambu nomor.155, Pasuruan,” terang Lis Hadiarso.

Lis Hadiarso menambahkan, ia dan keluarganya tinggal di Bangil cukup lama. Lis memperkirakan lebih dari 10 tahun.

“Pokoknya setelah pansiun itu ayah saya pindah ke Bangil. Beberapa tahun kemudian ayah membeli sebidang tanah di Desa Kalirejo, Bangil. Waktu itu harganya Rp 125 ribu per meternya,” cerita Lis Hadiarso.

Lis Hadiarso mempunyai 5 saudara satu ayah beda ibu. Saudara itu adalah Rahmad Listiono, Suharto, Slamet Susanto, Hadi dan Erni.

“Bahkan saat saya menikah juga di Bangil. Dalam kutipan akta nikah nomor 115/39/VII/1988 itu disebutkan nama saya bin SD.Djasmadi, ayah saya. Dalam kutipan akta kelahiran saya juga menyebut nama ayah saya juga SD.Djasmadi. Loh begitu kok saya tidak diakui oleh saudara-saudara saya kalau saya bukan anaknya SD. Djasmadi,” tuturnya heran.

Setelah lama di Bangil, lanjutnya, SD.Djaswadi meninggal dunia pada 14 Agustus 2009. “Sedangkan ibu Roicha meninggal pada tanggal 04, bulan 10 tahun 1017,” terang Lis Hadiarso.

Jeremias Martinus Patty SH, MH (akrab disapa Bang Jeri).

Sementara itu Jeremias Martinus Patty, SH, MH, penasehat hukum Lis Hadiarso menuturkan, perihal saudara Lis Hadiarso tidak diakui sebagai saudara oleh saudara-saudaranya itu buktinya tidak kuat. Pria yang akrab disapa Bang Jeri ini menambahkan, bahwa Lis Hadiarso sebagai anaknya SD.Djaswadi itu dibuktikan dengan dokumen Akta Nikah dan Akta Kelahiran.

Dua dokumen itu, lanjutnya, menguatkan bukti kalau Lis Hadiarso itu adalah anaknya SD.Djaswadi.

“Disamping itu, ada bukti lagi bahwa tetangga Lis Hadiarso yang ada di Surabaya yang masih hidup  memberi kesaksian kalau Lis Hadiarso itu adalah anaknya SD.Djaswadi. Dan pernah berkumpul dalam satu keluarga dengan saudara-saudaranya itu di Surabaya,” Tutur Bang Jeri.

Bang Jeri berkeyakinan, kalau Lis Hadiarso akan memenangkan gugatan dalam sidang mediasi kekeluargaan di PA Bangil, Pasuruan. Mengingat banyak bukti yang menguatkan kalau Lis Hadiarso itu adalah anaknya SD.Djaswadi. (mnr).