Polemik Penundaan Pemilu, Rafi Aydrus; Masa Tidak Ada Orang di Republik ini yang Dapat Memimpin Negara?
Pasuruan | JATIMONLINE.NET,- Wacana penundaan Pemilu oleh Tiga Ketua Umum Partai Politik, Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) menuai banyak kontroversi.
Padahal Sebagaimana jadwal yang telah disepakati Pemerintah, DPR dan KPU, Pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024.
Alasan yang dijadikan landasan pada usulan tersebut dinilai tidak masuk akal dan mengada-ada.
Menurut Rafi Aydrus, Ketua MPC Pemuda Pancasila (PP) Kabupaten Pasuruan mengatakan, munculnya wacana ditundanya pemilihan umum (pemilu) saat ini dinilai tak masuk akal.
Menurutnya, saat ini tidak ada satu kondisi yang mendukung usulan itu, dan wacana tersebut baginya mudah diperdebatkan.
“Penundaan pemilu, menurut saya alasannya dibuat-buat saja dan tidak masuk di akal,” kata sosok yang akrab disapa mas Rafi itu pada Senin (7/3/2022).
Mas Rafi menyebut, penundaan pemilu bisa saja dilakukan jika sebuah negara saat memiliki alasan kuat dan objektif. Misalnya seperti terdampaknya perang Rusia dan Ukraina, muncul virus Covid-19 yang mematikan, atau terjadi bencana alam di berbagai daerah.
Mas Rafi menekankan, walaupun banyak elite politik mendukung wacana penundaan tersebut dikarenakan kondisi ekonomi. Namun alasan tersebut bukanlah alasan yang cukup kuat untuk ditundanya Pemilu 2024.
“Kalau alasan menunda karena kondisi ekonomi, apakah dengan menundanya kondisi ekonomi kita akan lebih baik? Dan kalau terpilih presiden baru yang lebih legitimate jangan-jangan ekonomi bisa lebih baik,” tegasnya.
Selanjutnya, jika karena alasan pandemi Covid-19. Mas Rafi mengatakan, Indonesia pernah menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 di saat tingginya angka Covid-19.
“Jadi harus ada alasan yang sangat kuat untuk itu (menunda Pemilu). Masa tidak ada orang di Republik ini yang dapat memimpin negara, sehingga Jokowi harus diperpanjang,” tegas Mas Rafi lagi.
Mas Rafi menambahkan, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
Ketiga cara itu, menurut Mas Rafi lagi, sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali konstitusi yang berlaku.
Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45. Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini.
Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum. Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu. Ayat (8) Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum. (dar).
Tinggalkan Balasan