Kegelisahan Kiai Asep
“Cabang-cabang dan ranting berguguran, akar rumput pun mengering, kata pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah,” Mojokerto Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA (Kiai Asep) dalam musyawarah bersama Ketua PWNU dari wilayah Indonesia Timur di Guest House Institute KH Abdul Chalim Pacet, Mojokerto, 13 Desember lalu.
Kiai Asep gelisah karena Muktamar ke-34 NU di Lampung dikotori jual beli suara oleh Katib Suriyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Informasi dari Ketua PWNU Aceh Teungku Faisal Ali yang hadir pada musyawarah tersebut, para Ketua PCNU di Aceh diberi DP Rp 100 juta dan jika Gus Yahya menang ditambah Rp 150 juta.
Informasi itu sama dengan siaran pers disampaikan Ketua Presidium Barisan Nahdliyin Nusantara (BNNU) Sudarsono pada 9 Desember lalu berdasar percakapan WA Sekretaris PWNU Jatim Prof Akhmad Muzakki kepada para Ketua PCNU Kabupaten/Kota se-Jatim.
Kiai Asep juga menyampaikan bahwa di belakang Gus Yahya ada kekuatan Yahudi. Informasi dari seorang mantan pengurus PBNU, jika Gus Dur hanya bermain dengan Yahudi di luar lingkaran, Gus Yahya bermain dalam lingkaran. Jadi, meskipun dianggap kader terbaik Gus Dur, Gus Yahya bukan representasi Gus Dur.
Agar dapat memahami kegelisahan Kiai Asep, kita harus membaca atmosfer yang melingkupi pelaksanaan Muktamar Lampung. Sebagai petahana yang telah memiliki jaringan patronase luas, KH Said Aqil Siradj (Kiai SAS) tentu ingin mempertahankan kedudukannya.
Pada pertengahan November lalu penulis mendapat informasi dari senior di PW LP Maarif Jatim, bahwa Kiai SAS menawarkan pembangunan perguruan tinggi kepada salah satu PWNU di Sumatera. Tidak salah jika dianggap tawaran itu merupakan proyeksi menuju kontestasi 2024 karena Kiai SAS memiliki tokoh tandem, seperti Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoe Soedibyo dan Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang.
Selain Gus Yahya dan Kiai SAS, dalam konstelasi Muktamar Lampung juga terdapat Ketua DPP PKB Muhaimin Iskandar, Sang Hyang Wisnu bagi para pendekar NU yang mengais rejeki melalui ladang politik. Selain ingin mempertahankan singgasananya, Muhaimin juga ingin menyelamatkan diri dari kasus-kasus korupsi yang menjerat dirinya.
Dari luar konstelasi juga terdapat tekanan gejolak hasrat kader-kader yang sudah lama mengincar jabatan-jabatan rektor, dirjen, sekjen, irjen, sespri, jubir, ketua partai, dan lain-lain yang keberadaannya tidak boleh dianggap sebagai aksesoris.
Untuk menjaga pelaksanaan muktamar agar menjunjung tinggi akhlakul karimah, Panitia Muktamar NU membentuk Majelis Tahkim (Dewan Etik) terdiri atas 11 ulama sepuh. Akan tetapi, perkiraan penulis, majelis ini akan menjadi powerless karena diketuai KH Maruf Amin, Rais Aam PBNU hasil Muktamar Jombang yang memilih putar haluan karena tergiur jabatan politik. Bersama Kiai SAS dan KH Miftahul Akhyar, KH Maruf Amin telah mengubah Khittah NU 1926 menjadi Khittah Mutaghayyirah, sehingga status garis perjuangan NU berubah menjadi jengki, kemudian NU dijadikan kendaraan politik.
Jika para kiai yang terpilih sebagai Ahlul halli wal aqdi (Ahwa) tidak bisa bersikap tegas dan menafikan berbagai pelanggaran seperti terjadi dalam Muktamar Jombang, Muktamar Lampung akan menghasilkan kepengurusan tidak berkualitas. Yang lebih memprihatinkan, para peserta muktamar akan kembali ke daerah masing-masing dengan membawa syahwat berkat dan akan menjadikan warga NU sebagai komoditas politik.
Jika demikian, cabang dan ranting tidak hanya berguguran, tetapi bertumbangan; akar rumput pun tidak hanya mengering, tetapi terbakar.
Tinggalkan Balasan